Perantau dan Bayang-Bayang Rumah Gubuknya
Secara fisik, rumahku memang tidak sekokoh Benteng Takeshi yang dijaga oleh puluhan The Emerald Guards. Ia tidak lebih seperti gubuk nyaman tempat berlindung panas-hujan.
Aku datang dari kota pesisir di jalur Pantura Jawa Timur menghadap Laut Jawa yang dihadang Pulau Madura. Di kota kecil tersebut, kami menyebut rumah dengan sebutan omah atau bungkoh. Kata dari dua bahasa berbeda itu menjadi lazim di tempat kami. Sebagaimana perbedaan penghuni akan selalu dinaungi atap yang sama.
Kini sejak umur 20-an, aku selalu dibayangi tuntutan untuk mempunyai rumah, menikah, berkeluarga dan mapan finansial. Bukan dari kalangan crazy rich, ibu-bapakku hanya warga biasa yang serba berkekurangan, bahkan untuk kebutuhan primer sekalipun. Jadi kupikir rasanya takdir ini mengarahkanku untuk menjadi sandwich generation. Ah bukan lagi; tahu gejrot generation malah.
Gubuk rumahku 8 tahun lalu |
Tapi bersyukurnya, Tuhan Maha
Baik selalu memudahkanku dalam mencari kerja (walau disaat bersamaan selalu
sial soal urusan cinta. Huehuehuee.... Sedikit demi sedikit hasilnya, aku
sisihkan untuk merenovasi rumah keluarga di Probolinggo. Anehnya aku seperti tidak
berjodoh dengan Kota Mangga dan Anggur itu. Entah kenapa setiap pekerjaan yang
kulamar semuanya menjauhkan aku dari Probolinggo, menjauhkanku dari rumah. Apa
karena horoskopku bernuansa ‘angin’? Canda.
Bicara rumah, itu bicara tentang
moment, kenangan dan kadangkala cerita perabotan rumah tangga yang terlempar
saat aku dan adikku rewind Perang Dunia. Huehuehuee.... Dulu mana kuat aku beli
perabotan rumah tangga, apalagi yang kualitasnya bagus sekelas produk
Olymplast. Jadi kalau pas ‘perang’ nyenggol dingklik plastik sudah bisa
dipastikan bentuknya tak akan selamat. Walhasil esoknya bapak nggergaji
triplek/lempengan kayu sebagai penggantinya. Tak lupa omelan emakku sepanjang
minggu menggerutu. Dingklik plastik adalah Tumblr emak-emak masa baheula, percaya
deh.
Ilustrasi dingklik plastik | credit image: www.biggo.id |
Tapi itu kan dulu, sekarang ada toko Olymplast juaranya rapikan rumah. Mau rewind ribuan perang, dari zaman Konoha belum terbentuk pun, kualitas perabotnya tak perlu diragukan. Duuh, celoteh begini membuatku ingin pulang. Rumah selalu menyajikan segala sesuatu yang kau butuh walau tak pernah dipinta. Karena di sana ada bersemayam rumah pertamamu: ibu.
Kurang lebihnya 5 tahun
belakangan ini aku jarang mengunjungi rumah. Seperti yang kusinggung
sebelumnya, pekerjaan mengantarku untuk tinggal di luar kota. Hingga detik ini
saat aku mengais rejeki di Ibukota, diri harus bersyukur dengan kamar petak 3 *
2,5 yang sering berantakan sebab belum mampu beli box kompartemen utamanya
untuk sepatu dan koleksi buku bacaan. Tapi sejak sebulan yang lalu sudah menyisihkan
uang untuk membeli Trolley Penyimpanan Serbaguna produk Olymplast. Doakan saja
ya niat baik terkabulkan (padahal harganya terjangkau lhoo dan )
Sebagai perantau, tanya siapa saja, keinginan pulang kampung itu mengambil porsi paling besar sebagai angan-angan di benak kami. Sehingga hal pertama ketika bekerja di kota orang aku selalu berusaha menjadikan kamar kost senyaman-nyamannya ditinggali laiknya ketika di rumah. Mengoleksi barang kesayangan tanpa perlu kerepotan. Olymplast produsen perabotan rumah tangga tentu mampu mengakomodir keinginan tersebut sebab melihat perabot plastik mengingatkanku pada dingklik emak yang pecah tadi. Intinya aku ingin kamar kostku bersertifikasi 5R; Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (bukan Rwrrrr ya...)
contoh produk berkualitas Olymplast, yuk kepoin di www.olymplast.co.id |
Aku ingin merapikan kamar kost serapi ibu menyusun barang-barang di rumah. Walau dindingnya tak kokoh -sinar matahari seringkali menyelinap dari kisi-kisi dinding bambu rumah kami-, tapi ibu selalu berusaha membuat kami untuk nyaman di rumah. Perabotan rumah tangga selalu ditatanya dengan sabar sedemikian rupa walau sering jadi korban ‘perang’ berulang kali. Andainya aku jauh hari sudah mengenal Olymplast Juaranya Rapikan Rumah, mungkin saja rasa maafku sedikit bisa terobati. Karena rumah sejatinya hadir sebagai ruang penerimaan, ruang pengakuan dosa dan pengampunannya, ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa khawatir dihakimi dan pastinya dimanapun engkau pergi, ibu selalu menyediakan tempat untuk pulang.
Bicara rumah, itu bicara tentang
moment, kenangan dan selajur bertambahnya umur, kini itu artinya bicara tentang
harapan, perlindungan dan tempat menata hidup. Aku ingin kelak calon istriku
bisa bersama-sama menghidupkan rumahku dengan suka-duka, dengan narasi cerita.
Aku memaknai rumah sebagai verba-nomina dimana kita bisa diterima sebagaimana adanya. Tempat dan kata kerja yang nyaman, hangat dan bebas ekspresi dari segala prasangka.